Batik Te’ye’ng: Inovasi Batik Surabaya yang Memanfaatkan Karat Besi

Bicara soal batik, mungkin kebanyakan orang langsung membayangkan motif-motif klasik seperti parang, kawung atau mega mendung. Tapi di Surabaya, ada satu jenis batik yang tampil beda dan tak biasa, namanya Batik Te’ye’ng. Batik ini tak hanya menonjol karena motifnya, tapi juga karena teknik pewarnaannya yang unik yaitu menggunakan karat besi.
“Batik Te’ye’ng itu khas karena ada pewarnaan tambahan berupa percak-percak dari karat besi,” jelas Firman Asyhari, pemilik Batik Te’ye’ng, saat diwawancarai Fenews usai Hands-on Batik Workshop.
Didirikan sejak tahun 2013, Batik Te’ye’ng lahir dari ketidaksengajaan yang berujung pada kreativitas. Firman bercerita, awalnya ia hanya mengikuti pelatihan batik setelah UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Dunia. Dari sana, muncul ide untuk membuat sesuatu yang berbeda. “Dapat cerita dari teman-teman, batik terkena karat besi, sulit dihilangkan. Itu yang saya terima, bahwa ini kan bisa menjadi motif tersendiri, karena sulit dihilangkan” ujarnya.
Nama Te’ye’ng sendiri diambil dari kata ‘teyeng’ yang berarti berkarat. Dari situlah muncul filosofi mendalam di balik setiap helai kainnya yaitu transformasi dari sesuatu yang dianggap kotor menjadi bernilai. “Batik Te’ye’ng ini memberi filosofi sebagai transformasi atau hijrah. Jadi awalnya dulu teyeng itu dianggap sebagai satu yang kotor, berubah menjadi sesuatu yang indah,” tutur Firman.

Baca juga: Meriahkan Hari Batik Nasional, Best Western Papilio Surabaya Gelar Workshop Bareng Batik Te’ye’ng
Proses pembuatannya pun cukup unik. Kain batik yang sudah jadi akan dibasahi air garam, lalu ditempeli kawat besi di atas spon. Setelah ditutup dan dibiarkan selama dua hari, muncullah pola-pola alami hasil oksidasi yang menyerupai cipratan atau percikan, yang menjadi ciri khas Te’ye’ng.
Meski tidak diproduksi massal, Batik Te’ye’ng pernah menembus pasar internasional. Kain buatannya pernah digunakan oleh desainer dan dipesan dari Thailand hingga Vietnam, bahkan menjadi souvenir perusahaan besar hingga ke Swiss. Selain itu, Batik Te’ye’ng juga menjadi juara 2 program Pahlawan Ekonomi Surabaya di era Wali Kota Tri Rismaharini.
Kini, setelah lebih dari satu dekade berdiri, fokus Batik Te’ye’ng mulai bergeser ke arah edukasi dan pelatihan. Firman aktif berkolaborasi dengan masyarakat, sekolah hingga komunitas untuk belajar membatik secara langsung.
Meski tren fashion terus berubah, Firman tetap berkomitmen menjaga jati diri Batik Te’ye’ng. Ia terbuka untuk berkolaborasi dengan desainer, namun tetap mempertahankan proses tradisional dan filosofi di baliknya.
Batik Te’ye’ng membuktikan bahwa keindahan bisa lahir dari hal-hal yang tak disangka. Sebuah karya yang bukan hanya soal estetika, tapi juga tentang keberanian untuk melihat keindahan dari yang awalnya dianggap tidak sempurna. *tes