Fenomena Guru Tak Berani Tegur Murid karena Takut Dilaporkan ke Polisi, Apa Dampaknya?
Maraknya kasus guru dilaporkan ke polisi oleh orang tua murid yang tak terima anaknya ditegur di sekolah ini sedang ramai diperbincangkan. Sejumlah kasus memperlihatkan sosok guru yang berhadapan dengan hukum atau dipidana dan didenda ratusan juta akibat menegur atau menghukum siswanya.
Beberapa kasus tersebut diantaranya menimpa seorang guru olahraga SD Negeri 1 Wonosobo berinisial MS yang melerai perkelahian di kelas dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa. Hingga penangkapan guru honorer Supriyani yang didakwa melakukan kekerasan fisik terhadap seorang siswa yang merupakan anak dari anggota polisi.
Hal ini menimbulkan fenomena para guru tak berani menegur muridnya yang kurang disiplin ataupun yang membuat masalah di sekolah. Bahkan, belakangan ini viral tren terkait hal ini.
Salah satu konten guru tak berani tegur murid ini diunggah akun Instagram @moh_nasrulloh. Dalam unggahannya terlihat suasana kelas dengan para siswa yang tekun mencatat, tampak murid laki-laki yang tiduran di bangku kelas dan ada yang asyik berbincang.
“Mau negur takut dilaporkan polisi,” tulis keterangan dalam unggahan tersebut.
Ada juga beberapa video parodi yang menunjukkan para guru mengabaikan atau tak menegur murid yang berkelahi hingga pacaran di jam belajar di sekolah. Tren guru tak berani menegur murid karena takut dilaporkan polisi ini sebagai bentuk sindiran atas maraknya kasus guru dipolisikan oleh orang tau yang tak terima anaknya ditegur atau didisiplinkan.
Terkait maraknya kasus guru yang diproses hukum pidana karena menegur atau mendisiplinkan murid ini direspon oleh pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Albert Aries, yang mengatakan apparat penegak hukum perlu segera meninggalkan instrument hukum pidana sebagai sarana pembalasan. Ia juga mengingatkan soal KUHP baru yang berlaku tiga tahun setelah disahkan pada 2023 lalu.
“Masyarakat dan apparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim & advokat) perlu untuk segera meninggalkan paradigma lama (keadilan retributive) yang menggunakan instrumen hukum pidana sebagai sarana pembalasan (lex talionis) dalam menyongsong berlakunya KUHP Baru tahun 2026 nanti,” ujar Albert melalui keterangan tertulis, dikutip dari cnnindonesia, Jumat (8/11).
Albert menegaskan proses hukum terhadap guru yang melakukan tindakan disiplin kepada muridnya itu tidak menitikberatkan pada penghukuman dengan mengutamakan proses penyelesaian di luar pengadilan. Adapun asas hukum disipliner yang menjadi alasan penghapus pidana di luar KUHP bagi para guru termasuk orang tua untuk mendisiplinkan murid/anak-anak secara proporsional dan batas-batas kewajaran.
Pun ada dampaknya jika guru tak lagi berani menegur murid yang kurang disipilin atau berbuat salah di sekolah. Diantaranya, memengaruhi kualitas pendidikan, di mana guru akan cenderung menghindari pendekatan disiplin yang tegas, sementara murid kehilangan bimbingan yang seharusnya mereka terima dan kehilangan kesempatan belajar tentang tanggung jawab.
Tak hanya itu, dampaknya bisa menurunkan kualitas pengajaran, di mana kemungkinan guru merasa terbebani secara emosional, sehingga focus dan energi mereka untuk mengajar berkurang. Pun dampaknya pada penguatan perilaku negatif pada murid yang merasa bebas bisa melakukan tindakan yang tidak pantas.